Sunday, December 1, 2013

Soto Solo Seleraku

Tulisan ini dipersembahkan oleh
Kontes Tulisan Tentang Solo
Aku disini akan menulis kesan pertamaku saat mencicipi soto Solo.
Jika ingat kata Solo, orang orang mungkin langsung membayangkan Sungai Bengawan, Stasiun Balapan, Didi Kempot dll. Tapi tidak bagiku, pikiranku pasti langsung tertuju pada soto. Mungkin gara-gara “Solo” sama “Soto” cuma beda di huruf ‘L’ dan ‘T’ doang ya. (mekso banget yah)
Soto, Siapa yang tak kenal si kuah gurih ini? Ya, soto itu merupakan menu yang cukup eksis karena keberadaannya mudah ditemukan di berbagai tempat mulai dari warung, restoran, kantin, bahkan di trotoar.
Karena saking populernya, kini soto pun dapat ditemui di toko terdekat dalam bentuk mie instan.
Mungkin setiap kota di Indonesia ini punya soto khas daerah masing masing. Dan dari setiap soto khas tersebut pasti ada yang nyasar ke kota lain. Misalnya Soto Kudus tapi ada di Kota Banjar dan soto Banjar tapi berada di Kota Kudus. Yah semacem student exchange gitu lah, tapi kalo ini soto exchange. Jadi di Indonesia ini ada bermacam-macam soto. Tapi sayangnya yang pernah aku cicipi baru soto Jogja dan soto Solo.
Langsung saja, awal aku mencicipi soto Solo adalah ketika perjalanan pulang kampung tahun 2003. Saat itu aku masih kelas 3 SD. Seperti biasa, keluargaku mudik ke rumah simbah saya dengan sistem cenglu(semotor bertiga) menggunakan sepeda motor (Ayahku yang menyetir, ibuku bonceng, dan aku duduk dijepit diantara Ayah dan Ibu). Kami bertiga bertolak dari Jogja pagi sekali sekitar pukul 05.00. Udaranya masih bikin meriang, tapi posisiku yang terjepit senantiasa membuat hatiku riang karena badanku tetap hangat.
Setelah melewati Klaten dan Delanggu, kami memilih melewati jalur Kartasura terlebih dahulu sebelum mencapai Rumah simbahku di daerah Tipes. Tipes itu adalah salah satu penyakit pencernaan yang mematikan. (itu typus bro). Back to story, Tipes itu tepatnya daerah di deket bunderan yang bentuknya enggak bunder.
Bunderan ini cukup legendaris karena sering dipakai buat patokan saat menunjukkan arah jalan.
Kami mencapai kartasura sekitar pukul 06.30. Karena perut kami belum terisi oleh sebutir nasi pun, maka kami mampir dulu ke warung soto sapi yang kebetulan ada di tepi jalan yang kami lalui. Itu adalah pertama kalinya keluargaku makan ke warung soto sapi di solo. Warungnya memang terlihat sederhana, namun sepertinya pembelinya tak pernah habis. Bahkan di warung yang relatif kecil tersebut orang rela duduk berdempet-dempet demi menikmati semangkuk soto.
Ada yang sedikit berbeda dengan antara warung soto ini dengan warung soto yang ada di jogja. Yaitu dipakainya kuali yang terbuat dari tanah liat sebagai tungku pemanas kuah kaldu soto.
Karena sudah lapar, bapakku segera memboking tempat dan ibuku memesan soto yang saat itu satu porsi harganya masih Rp 1500,00. Lalu tak lupa juga pesan teh anget yang harganya masih Rp. 500 untuk satu gelasnya. Gila! murah banget kan?, Jadi tukang parkir 5 menit aja penghasilannya udah bisa buat makan tuh soto + teh anget. Tapi sayangnya itu 10 tahun yang lalu.
Walaupun murah, saat itu aku tak berminat sama sekali dengan soto itu. Di dalam benakku saat itu, soto adalah sesuatu yang berkuah manis dan bikin eneg. Mungkin image soto di pikiranku seperti ini karena aku sering makan soto Jogja yang manis. Maka aku memutuskan untuk tidak mau memakan soto.
Namun saat itu Ibu merayuku setengah mati agar aku mau makan. Rayuan tersebut ternyata tidak berhasil dan aku tetap tak mau makan. Tak lama kemudian aku memulai adegan acting masuk angin agar orang tuaku panik, terus bergegas menuju ke rumah simbah dan tidak jadi makan soto. Tapi karena aku belum sarapan, actingku jadi tidak maksimal dan dengan mudahnya bisa ditebak oleh ibuku.
Actingku yang lumayan alay tersebut mengundang perhatian banyak orang, salah satunya adalah ibu ibu pelayan warung soto tersebut. Ibu ibu pelayan ini mulai ikut merayu. Tapi anehnya, saat ibu pelayan warung yang merayuku, aku seperti terhipnotis untuk mencicipi soto tersebut.
Sampai akhirnya aku mau untuk mencicipi soto tersebut, dan merasakan betapa enaknya soto Solo. Lidahku termehek-mehek saat kuah soto tersebut memasuki mulutku. Aku belum pernah merasakan soto yang seenak ini selama di jogja. Pokoknya perpaduan antara kaldu nya rasanya pas, dan yang jelas rasanya tidak terlalu manis. Lalu runtuhlah bayangan di kepalaku bahwa soto itu manis dan bikin eneg. Setelah itu ibuku pesan satu mangkuk soto lagi buat sarapanku.
Dari situ aku jadi tahu, Ternyata soto Jogja dan soto Solo cukup beda. Perbedaannya adalah keberadaan kubis yang banyak pada soto Jogja
diganti dengan tauge dan bawang goreng yang banyak pada soto Solo.
Dan yang jelas rasanya tidak terlalu manis seperti soto di jogja. Itulah yang membuatku suka soto Solo. Bahkan saat membuat tulisan ini pun aku masih membayangkan rasa dari soto Solo tersebut.
Sejak saat itu, Aku sekeluarga tak pernah melewatkan soto sapi khas Solo setiap aku mudik ke rumah simbahku. Bahkan itu seperti ritual wajib yang jika tidak dilaksanakan rasanya kurang afdol. Pokoknya, bagi anda yang mampir ke Solo jangan hanya mencari srabi, timlo, dan benjo(personil timlo) saja. Carilah warung Soto terdekat kemudian pesanlah 1 porsi dan rasakan sensasinya.
Sumber foto
Soto trotoar : tepi-jalanan.blogspot.com bunderan : panoramio.com Kuali : talkmen.com soto jogja : yiskandar.wordpress.com soto solo : foodrecipes69.blogspot.com

No comments:

Post a Comment